Leave a comment

Perdagangan Dalam Perspektif Theologi, Etika & Hukum Islam


Oleh : KH. Ahmad Asyhar Shafwan

A. Pendahuluan

Ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagaimana firman Allah Swt (artinya) : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu. (QS. Al-Maidah 5 : 3). Oleh karenanya Islam adalah sebuah aturan, norma, pola hidup yang melingkupi kehidupan manusia dan menjadi pedoman dalam mengarungi kehidupannya yang selanjutnya pedoman itu dijabarkan dalam fiqih Islam. Sedang fiqih itu sendiri adalah suatu pola hidup yang ditawarkan Islam dalam bentuk pemahaman secara mendalam terhadap hukum dan ketentuan Allah untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Dalam penjabarannya secara umum terbagi menjadi empat, yaitu :

1.

Tata hubungan antara manusia dengan Allah (‘ibadah).

2. Tata hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (mu’amalah).

3. Tata hubungan manusia dalam kehidupan berkeluarga (munakahah).

4. Tata hubungan manusia dalam mewujudkan masyarakat yang aman dan tenteram dimana hak dan kewajiban dapat berjalan dengan seimbang (jinayat).

Adapun perdagangan (jual-beli) dalam disiplin ilmu fiqh merupakan bagian pembahasan mu’amalah.

B. Asas Teori Perdagangan Islam

Asas perdagangan Islam adalah Islam itu sendiri, yang meliputi tiga aspek pokok yaitu aqidah, akhlaq dan hukum (yang dalam fiqih Islam yaitu pembahasan mu’amalah). Asas aqidah merupakan dasar yang tidak dapat dihindari dalam teori ekonomi Islam yang cabangnya termasuk perdagangan. Pengerian aqidah adalah ketetapan (pegangan) yang tidak diragukan oleh penganutnya, lebih tegasnya adalah kepercayaan yang tidak dicampuri keraguan apapun oleh penganutnya. Allah berfirman (artinya) : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (QS. Al-Baqarah 2 : 284). Sementara pada ayat yang lain menyebutkan bahwa manusia adalah pemilik harta, sebagaimana firmanNya (artinya) : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kamu dengan cara yang bathil (QS Al-Nisa’ 4 : 29). Dari dua firman diatas dapat difahami bahwa pemilik sesungguhnya dari apa saja yang di langit dan di bumi serta isinya adalah Allah, sementara kata “kamu” dengan yang dimaksud manusia, menujukkan bahwa peran manusia dalam pemanfaatan hara hanyalah sebagai khalifah (wakil)Nya. Sehingga aqidah sebagai asas perdagangan mempunyai pengertian meyakini bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi (khalifah Allah fi al-ardhi), kemudian keyakinan itu dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan tugas-tugas kehkalifahan sesuai dengan aturan (syari’at)Nya. Selanjutnya asas akhlaq (etika) menjadi pendukung dan pengatur motivasi serta tujuan yang tidak dijangkau oleh hukum, sehingga tata hubungan antar manusia dalan urusan mu’amalat tetap terjaga dengan baik. Adapun asas hukum menjadi ketentuan tingkah laku lahiriah aktivitas bermu’amalat.

C. Karakteristik Perdagangan Islam

Perdagangan sebagai salah satu sarana kegiatan ekonomi yang secara tegas sah (halal) menurut Islam, maka ia mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :

1. Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Khalifah Harta

Mengenai harta adalah milik Allah dan manusia hanyalah sebagai khalifah telah dijelaskan pada pembahasan asas aqidah. Disamping dua firman yang telah tersebut diatas, masih ada beberapa ayat serupa, diantaranya (artinya) : Kepunyaan Allah-lah kerajaan di langit dan di bumi dan apa yang ada diantara keduanya. (QS Al-Maidah 5 : 17). Nafkahkanlah (keluarkan) sebagian dari sesuatu (harta) di mana Allah telah menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa atas harta itu). (QS Al-Hadid 57 : 7).

Muhammad Ali Al-Shabuni dalam Al-Tashil fi ‘Ulum Al-Tanzil mejelaskan tentang pengertian khalifah bahwa “Semua harta yang ada di tangan kamu (manusia) pada hakekatnya adalah kepunyaan Allah, karena Dialah yang menciptakannya. Akan tetapi Allah memberikan hak kepada kamu (manusia) untuk memanfaatkannya. Allah menjadikan kamu (manusia) sebagai wakil-wakil-Nya dalam penggunaan harta-Nya tersebut. Jadi peranan kamu dalam pemanfaatan harta tak ubahnya hanya seperti wakil dari pemilik, bukan pemilik yang sesungguhnya. Karena itu janganlah kamu merintangi penginfakannya (penyaluran harta Allah) kepada pihak-pihak yang diperintahkan Allah sebagai pemiliknya supaya kamu laksanakan”.

2. Terikat dengan Aqidah, Syari’ah (Hukum) dan Akhlaq (Moral)

Seluruh ajaran Islam harus menjadi pedoman orang mukmin. Allah menegaskan (artunya) : Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya (QS Al-Baqarah 2 : 208). Dengan demikian ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-dipisahkan, sehingga tentang kegiatan ekonomi dalam Islam juga tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam yang lain. Oleh karena itu ketika seorang mukmin bermu’amalat harus senantiasa terbimbing dan terikat oleh aqidah, syari’ah (hukum) dan akhlaq (moral).

3. Seimbang antara Keruhanian dan Kebendaan

Allah berfirman (artinya) : Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS Al-Qashash 28 : 77). Pada ayat tersebut secara jelas Allah memerintahkan kepada kita agar menyeimbangkan urusan ruhani (akhirat) dan urusan keduniaan, kemudian ayat tersebut ditutup dengan larangan berbuat kerusakan dan barang siapa yang melanggar akan dihukumNya.

4. Adil dan Seimbang dalam Melindungi Kepentingan Ekonomi Individu dan Masyarakat

Arti keseimbangan adalah Islam tidak sejalan terhadap hak dan kebebasan mutlak dibidang kepemilikan harta kepada individu sebagaimana masyarakat kapitalis, atau sebaliknya kepada Negara, dimana negara membatasi pekerjaan dan upah sebagaimana dalam masyarakat buruh. Sebab yang pertama akan melahirkan kesempatan mengeksploitasi individu dan masyarakat, dan yang kedua mengakibatkan negara menjadi pemilik tunggal sehingga kemerdekaan individu terampas dan hilang. Jadi dalam hal ini Islam memberi kesempatan individu memiliki harta dalam batas-batas tertentu sesuai dengan tugas manusia sebagai khalifah Allah, sehingga peluang tindak kezhaliman melalui harta dapat dicegah. Dipihak lain negara juga diberi kesempatan menguasai dan mengatur harta, akan tetapi semua itu demi mewujudkan kemakmuran bersama dan bukan untuk dijadikan alat kesewenang-wenangan.

Allah Swt berfirman (artunya) : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu (Al-Nisa’ : 29). Dan berikanlah kepada sanak kerabat akan haknya, orang miskin, ibni sabil; dan janganlah kamu membuang-buang (hartamu) secara boros (QS Al-Isra’ : 26). Rasulullah Saw bersabda (artinya) : Tidaklah menimbun kecuali orang yang bersalah. Penimbunan yang dilarang menurut Imam Ahmad adalah mengenai barang-barang kebutuhan penopang hidup (bahan-bahan pokok). Sementara penimbun yang bersalah ini menurut Al-Awza’i adalah orang-orang yang menghalangi perdagangn di pasar.

Allah berfirman (artinya) : Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang ada dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (QS Al-Hasyr : 7). Sahabat Abu Bakar dalam sebagian khutbah baiat khilafahnya mengatakan (artunya) : Orang lemah dikalangan kalian adalah kuat di sisiku hingga aku ambilkan haknya, orang kuat dikalangan kalian adalah lemah di sisiku hingga akau ambil hak dari padanya.

5. Tawassuth dalam Memanfaatkan Kekayaan

Al-Qur’an memberi petunjuk tentang bagaimana manusia sebagai konsumen memanfaatkan kekayaannya. Allah berfirman (artinya) : (Sifat hamba-hamba Allah yang mendapat kemuliaan) adalah orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir. Cara pembekanjaan mereka di tengah-tengah antara yang demikian (QS Al-Furqan : 67). Rasulullah Saw bersabda (artinya) : Makanlah, minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah dengan tanpa berlebihan dan sombong (HR : Abu Daud dan Ahmad).

6. Kelestarian Sumber Daya Alam

Problem ekonomi dalam pandangan Islam tidak terletak pada kelangkaan sumber daya alam, tetapi terletak pada kelemahan atau kelalaian upaya dan amal usaha manusia. Allah berfirman (artinya) : Kami (Allah) telah menghamparkan bumi dan menjadikan pada gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan, dan kami menciptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rizki kepadanya. Tiada sesuatu apapun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya (sumbernya dari Kami) dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu (QS Al-Hijr : 19-21). Fenomena kelangkaan sumber daya alam adalah akibat dari kemalasan, kelemahan dan kesibukan manusia dengan berbagai aktivitas negatif, seperti peperangan, kemewahan dan kebiasaan yang merugikan kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya dihindari. Allah Swt berfirman (artinya) : Maka sempurnakan takaran dan timbangan, dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang mereka, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu dari golongan orang-orang mukmin. (QS Al-A’raf : 85).

7. Kerja (Tidak Menunggu)

Islam memandang bahwa bekerja untuk mencari rizki yang halal merupakan bagian dari ibadah dan jihad di jalan Allah. Allah berfirman (artinya) : Apabila telah ditunaikan shalat (Jum’ah), maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS Al-Jum’ah : 10). Dengan demikian pembangunan dan kelangsungan hidup manusia di muka bumi tergantung pada usahanya. Rasulullah Saw pernah ditanya : Usaha apa yang paling baik atau utama ? Beliau menjawab : Usaha seorang laki-laki dengan tangannya dan setiap jual beli yang baik. Syekh Muhammad bin Salim dalam kitabnya Is’ad al-Rafiq menjelaskan (artinya) : Sungguh Nabi Saw memposisikan orang berusaha mencukupi kebutuhan dirinya, istrinya dan anak-anaknya yang lemah guna menghindarkan dari minta-minta sebagai seorang mujahid (orang berjuang) di jalan Allah.

8. Zakat

Allah Swt mewajibkan manusia muslim menyisihkan sebagian kecil dari harta yang ada padanya sebagai zakat. Zakat dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dari kikir, dengki dan dendam serta sekaligus sebagai bentuk nyata kepedulian pemilik harta terhadap para dhu’afa. Allah berfirman (artinya) : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS Al-Taubah : 103). Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dirayu hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah: dan Allah Maha Mengerahui lagi Maha Bijaksana (QS Al-Taubah : 60). Disisi lain bagi mereka yang enggan membayar zakat Allah mengncam dengan siksaNya dan bahkan bagi yang mengingkari hukum kewajiban zakat adalah murtad. Allah berfirman (artinya) : Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Al-Taubah : 34)

9. Larangan Riba

Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada bidangnya yang normal, yaitu sebagai fasilitas transaksi dan alat penilai barang. Diantara penyelewengan uang dari bidangnya yang normal adalah transaksi yang mengandung riba. Diantara segi negative riba ditingkat pribadi adalah menyebarluaskan sifat egois, kikir, cemas, tega, budak harta, rakus dan tidak berani menghadapi resiko (karena terbiasa menanti keuntungan saja). Sementara sisi negatif ditingkat masyarakat adalah memperluas jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Allah Swt berfirman (artinya) : dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih (QS Al-Nisa’ : 161). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS Ali Imran : 130). Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa : Rasulullah Saw melaknat kepada orang yang memakan riba, orang yang memberi makanan riba, orang yang mencatat riba dan para saksi riba. Beliau bersabda : mereka itu sama (HR : Muslim).

D. Norma Hukum Perdagangan Islam

Jual beli (bai’) menurut bahasa menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedang menurut terminologi syari’at Islam adalah mempertukarkan harta dengan harta yang lain dengan cara tertentu (diizinkan syara’).[1]

Islam menghalalkan perdagangan sebagai salah satu ikhtiar mencari karunia dari Allah. Allah berfirman (artinya) : dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS Al-Baqarah : 275). Sebagai suatu akad (transaksi), jual beli mempunyai aturan main yang harus dita’ati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam jual beli, agar masing-masing pihak saling setuju dan puas, sehingga pihak pembeli bisa mencapai kehalalan barang yang dibelinya dan pihak penjual bisa mencapai kehalalan uang yang diterimanya. Firman Allah (artinya) : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu (QS Al-Nisa’ : 29). Yang dimaksud aturan main itu adalah meliputi syarat dan rukun, dimana rukun merupakan komponen pokok (subtansial) dari sebuah transaksi jual beli, sedangkan syarat sebagai elemen penentu dan pengikat layak atau tidaknya sesuatu menjadi komponen pokok dari transaksi jual beli.

Rukun dan syarat jual beli :

a. Madzhab Syafi’i : [2]

1) Aqid (pejual dan pembeli). Syaratnya harus ithlaq al-tasharruf (memiliki kebebasan pembelanjaan), tidak ada paksaan yang tidak dibenarkan, muslim jika barang yang dijual semisal mushhaf, bukan musuh jika yang dijual berupa alat perang.

2) Ma’qud ‘alaih (barang yang dijual dan alat beli). Syaratnya harus suci, bermanfaat menurut kreteria syari’at, dapat diserah-terimakan, dalam kekuasaan pelaku akad dan teridentifikasi oleh pelaku akad.

3) Shighat (Ijab dan Qabul). Syaratnya tidak disela oleh pembicaraan lain, tidak disela oleh terdiam yang lama, ada persesuaian antara pernyataan ijab dan qabul, tidak digantungkan kepada sesuatu yang lain dan tidak ada batasan masa.

Dalam kalangan madzhab Syafi’i jual beli dengan cara mu’athah (tanpa pernyataan ijab qabul) tidak sah, namun menurut sebagian ulama’ Syafi’iyyah adalah sah untuk barang-barang dimana dengan tanpa ijab qabul sudah dianggap sebagai jual beli atau pada barang-barang yang harganya kecil.

b. Madzhab Hanafi : [3]

1) Ijab

2) Qabil

Menurut madzhab Hanafi bahwa jual-beli bisa terjadi (in’iqad) hanya dengan ijab-qabul. Jadi in’iqad adalah keterikatan pembicaraan salah satu dari dua pihak yang berakad dengan lainnya menurut syari’at atas suatu cara/prosedur yang tampak hasilnya pada sasaran jual-beli. Dengan demikian jual-beli (bai’) menurut madzhab ini merupakan atsar syari’ (bekas/hasil nyata secara syari’at) yang tampak pada sasaran (jual-beli) ketika terjadi ijab qabul, sehingga pihak yang berakad memiliki kekuasaan melakukan tasharruf. Guna mencapai atsar yang nyata melalui ketersambungan ijab qabul, maka pihak pelaku ijab qabul (aqid) disyaratkan harus sempurna akalnya dan mencapai usia tamyiz, dan pada sasaran ijab qabul harus merupakan harta yang dapat diserah terimakan. Tentang jual beli cara mu’athah madzhab Hanafi memperbolehkan secara mutlak baik pada barang-barang yang berharga besar atau kecil, kecuali menurut pendapat al-Karkhi yang hanya membolehkan pada barang-barang yang kecil.

c. Madzhab Maliki : [4]

1) Shighat. Shighat diharuskan merupakan sesuatu yang dapat menunjukkan ridha (saling setuju) dari pihak aqid, baik berupa perkataan atau isyarat bagi orang tuna wicara dan tulisan. Madzhab Maliki memperbolehkan jual-beli dengan cara mu’athah.

2) Aqid yaitu meliputi penjual dan pembeli. Syaratnya harus tamyis yaitu sekira sudah dapat memahami pertanyaan dan mampu menjawabnya. Dalam madzhab ini aqid tidak disyaratkan muslim sekalipun barang yang jual semisal mushaf.

3) Ma’qud ‘alaih yaitu meliputi alat beli dan barang yang dibeli. Syaratnya harus suci, dapat diserah-terimakan, teridentifikasi, tidak terlarang penjualannya dan dapat diambil manfaatnya.

d. Madzhab Hambali : [5]

1) Aqid. Syaratnya memilki kepatutan melakukan tasharruf, yaitu harus sempurna akalnya, baligh, mendapat izin, kehendak sendiri dan tidak sedang tercegah tasharrufnya.

2) Ma’qud ‘alaih. Syaratnya memiliki manfaat menurut syari’at, boleh dijual oleh pihak aqid, dimaklumi bagi kedua pihak yang melakukan akad dan bisa diserah terimakan, dan disamping semua itu harus tidak bersamaan dengan sesuatu yang menghalanginya yaitu larangan syara’.

3) Ma’qud bih (shighat). Syaratnya harus berupa perkataan yang dapat menunjukkan persetujuan dan suka sama-suka antara dua belah pihak. Tentang mu’athah dalam madzhab Hambali terdapat tiga pendapat, yaitu tidak membolehkan, membolehkan dan ada yang membolehkan tetapi hanya pada barang-barang yang harganya kecil (remeh).

Dari uraian diatas bahwa rukun jual beli menurut madzhab empat kecuali madzhab Hanafi adalah sama, yaitu aqid (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaih (alat beli dan barang yang dijual) dan shighat/ma’qud bih (ijab dan qabul). Sementara dalam madzhab Hanafi rukunnya hanya satu yaitu shighat (ijab dan qabul). Sebab menurut madzhab ini rukun “ijab qabul” dapat difungsikan sehingga dapat mencapai pada atsar syar’i memerlukan pihak yang melakukan ijab qabul yaitu aqid dan sasaran ijab qabul yaitu alat beli dan barang yang dibeli. Dengan demikian madzhab ini pada dasarnya sama dengan madzhab lain. Adapun mu’athah (ketiadaan pengucapan ijab qabul) ulama’ dari semua madzhab empat membolehkannya, hanya saja keberlakuan sasaran hukum boleh terjadi perbedaan pendapat.

Legal formal terbangunnya jual beli ditentukan oleh syarat dan rukunnya. Namun perlu diketahui bahwa dalam prakteknya disamping harus berpijak pada asasnya yaitu Islam, harus tidak mengabaikan karakteristiknya. Sebab jika bagian ini diabaikan, maka bisa menimbulkan hukum terlarang (haram) dan bahkan sampai dapat merusak validitas akad jual beli itu sendiri.

Adapun praktek jual beli terlarang itu terbagi menjadi dua : [6]

  • · Terlarang (haram) tetapi jual belinya sah. Hal ini jika aktivitasnya dapat menimbulkan dampak negatif, sementara rukun dan syarat jual beli terpenuhi, seperti membeli barang yang masih dalam tawaran orang lain sesudah ada kesepakatan harga; menjualkan barang kebutuhan pokok secara bertahab dengan harga lebih mahal, padahal pemilik barang ingin menjualnya secara kontan; membeli barang dari orang yang belum mengetahui informasi harga pasar; menambah harga penawaran dengan tujuan membujuk; jual beli disaat seruan adzan Jum’ah dan lain sebagainya.
  • · Terlarang (haram) dan jual belinya tidak sah (fasid). Hal ini jika sebagian syarat atau rukun jual beli tidak dipenuhi, seperti menjjual janin dalam kandungan, jual beli dengan mempesyaratkan hutang, jual beli barang najis, jual beli barang yang membahayakan dan lain sebagainya.

E. Penutup

1. MLM Dihadapan Hukum Jual Beli Dalam Islam

System jual beli MLM ada yang produknya tidak jelas atau bahkan tidak nyata wujudnya dan ada yang produknya memang wujud secara nyata. Untuk yang pertama hukumnya haram dan tidak sah sebagaimana yang telah diputuskan PWNU Jawa Timur pada tahun 1423 H/2002 M di Kediri. Adapaun yang kedua sejauh yang saya ketahui dari brosur yang saya baca dan informasi dari sebagian pelaku, maka MLM yang produknya wujud secara nyata dan jelas, maka secara umum ditinjau dari sisi praktek jual beli MLM tidak tampak adanya indikasi bertentangan dengan sendi-sendi pokok (rukun) jula beli dalam Islam, mengingat aqid (pelaku akad), barang yang menjadi sasaran akad dan jalinan ikatan (ijab qabul) antara penjual dan pembeli semua dipenuhi.

2. Catatan

MLM sebagai model jual beli dengan bercirikan jaringan menyisakan beberapa hal yang dapat menimbulkan kerancuan utamanya pada stastus kemitraan distributor dengan perusahaan dan bonus yang dijanjikannya. Diantara hal-hal tersebut ada yang dapat berdampak pada hukum dan sebagian lainya terkesan tidak/kurang mencirikan karakteristik dan etika ekonomi Islam.

a. Perihal yang dapat mengkaburkan anatara lain :

  • · Distributor, kedudukannya terhadap produk barang masih kabur, apakah sebagai wakil atau pemilik atau musahim (pesaham). Jika ia wakil maka ia tidak boleh menjadi pembeli barang yang dikuasakannya;[7] jika ia pemilik (karena harus membeli barang secara tunai) semestinya ia tidak boleh terikat oleh persyaratan-persyaratan yang bukan konsekwensi yuridis dari akad jual beli dan tidak memberi dampak terhadap kemaslahatannya;[8] dan jika ia musahim syirkah, maka kecenderungannya adalah syirkah kerja (abdan) dan semestinya tidak boleh terjadi pensyaratan harus membeli barang, sebab pada syirkah abdan saham berupa jasa (amal) bukan harta[9].
  • · Bonus, sebagai imbalan yang mengikat (karena telah dijanjikan dan menjadi sasaran) dan sekaligus juga memikat (karena jumlahnya jauh lebih besar daripada laba/keuntungan langsung) juga ikut menjadi rancu akibat kekaburan kedudukan distributor. Jika ia sebagai wakil, maka kemitraan antara perusahaan dan distributor tergolong akad yang didasarkan pada kepercayaan (amanah), sehingga tidak boleh ada persyaratan harus membeli barang dan terikat oleh imbalan (bonus). Kemudian jika kemitraan sebagai wakil ini menjadi syarat jual beli, maka akad jual belinya rusak dan bonus sebagai imbalannya hukumnya haram. Jika ia sebagai pembeli kemudian bonus diposisikan sebagai imbalan dari persyaratan “pengembangkan jaringan”, maka juga dapat merusak keabsahan jual beli dan hukum bonusnya haram karena merupakan kompensasi syarat yang fasid (rusak);. Dan jika ia sebagai musahim, maka ia adalah musahim dalam akad syirkah yang fasid sehingga bonus yang diterimanya juga haram.
  • · Dalam hal distributor adalah suami-istri jika salah satunya meninggal, ketentuannya yang masih hidup dianggap sebagai pewisnya, baik dalam hak maupun tanggung jawabnya. Dalam hukum waris tidak ada pewarisan tanggung jawab dan yang ada yaitu pewarisan harta atau hak yang dapat mendatangkan harta.[10]
  • · Pewarisan dalam Islam merupakan hak milkiyyah khalafiyyah yang terjadi secara idhthirari (otomatis) tidak memerlukan proses pemberian dan permohonan.

b. Perihal yang tidak/kurang mencirikan karakteristik dan etika ekonomi Islam diantaranya yaitu :

  • · Janji bonus berlipat-lipat membuat orang berangan-angan panjang (thul al-amal) yang tidak terpuji (madzmum) dan mendorong manusia menjadi loba dunia.
  • · Mencari harta dengan penuh trik-trik rekayasa (mencampur-adukkan bermacam-macam akad) tidak hanya dapat mempengaruhi validitas akad tetapi dapat menghilangkan keberkahan rizki
  • · Dibalik fleksibilatas MLM dimana transaksinya tidak terikat oleh tempat dan waktu berpeluang memasyghulkan aktivitas-aktivitas penting yang seharusnya perlu mendapat perhatian secara spesifik.
  • · Bisnis lebih karena bertujuan mendapat bonus berlimpah, terkesan menuruti dorongan kesenangan hawa nafsu, padahal seharusnya jual beli hendaknya dapat dijadikan salah satu bentuk jihad melawan hawa nafsu.

semoga bermanfaat. Amiin.


[1] Fath al-Wahhab, juz 1 hal 186 ; Kifayah al-Akhyar, juz 1 hal 326

[2] Zakariyya al-Anshari, Fath al-Wahhab, Dar al-Fikr juz 1 hal 186

[3] Al-Hidayah, juz VI hal 229-230 ; Al-Jauharah al-Nayyiyah, juz II hal 196-197 ; Durar al-Hukkam Syarh Ghurar al-Ahkam juz VI hal 151-152

[4] Al-Fawakih, juz 2 hal 115-116 ; Syarh Mukhtashar Khalil, juz 14 hal 200-201; Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, juz 6 hal 331

[5] Badruddun al-Zarkasyi, Syarh al-Zarkasyi juz III hal 378

[6] Al-Manhaj al-Thullab, juz 1 hal 193-197

[7] Fatawa Ibn al-Hajar al-Haytami, juz 4 hal 4 ; Mughni al-Muhtaj juz 2 hal 166

[8] Al-Muhadzdzab, juz 1 hal 356 ; Al-Tanbih juz 1 hal 133

[9] Imam Syafii tidak memperbolehkan, namun menurut Imam Abu Hanifah hukumlah boleh. Subul al-Salam, juz 3 hal 1188

Leave a comment