Leave a comment

Ansor Tulen dan Ansor Gadungan


 

Sewaktu para sufi ketawa-ketiwi membincang fenomena Pesantren Palsu dan Santri gadungan di teras musholla, tiba-tiba Sukiran datang dengan terburu-buru menghadap Guru Sufi. Dengan nafas masih tersengal-sengal, ia menuturkan bahwa di desa asalnya di Mojokerto, baru saja terjadi peristiwa kekerasan massal di mana warga merusak pangkalan JAT – Jam’iyyah Ansor Takrir. “Soalnya, warga sudah resah kampungnya dijadikan pangkalan berlatih kemiliteran dengan dalih latihan-latihan itu adalah sunnah,” ujar Sukiran menjelaskan.

“Kalau itu sunnah, kenapa warga melarang dan merusak pangkalannya?” tanya Guru Sufi.

“Karena warga menganggap latihan-latihan itu berhubungan dengan aksi terorisme.”

“Oo begitu ya,” sahut Guru Sufi mengangguk-angguk.

“Selain itu, Mbah Kyai,” sahut Sukiran menjelaskan,”Anak-anak Ansor setempat sudah tidak sabar dipameri latihan-latihan kemiliteran dasar oleh JAT. Mereka dianggap menantang-nantang untuk tarung.”

“Nah itu masalah intinya,” sahut Sufi tua menyela,” Ansor yang asli tulen marah ketika muncul Ansor gadungan, yang menggunakan nama Ansor untuk mengaplikasikan hidden agenda mereka mensukseskan teori Huntington tentang The Clash of Civilization.”

“Ansor asli tulen dan Ansor gadungan?” sergah Sukiran heran,”Memangnya ada Ansor tulen dan Ansor gadungan, pakde?”

“Ya ada le,” sahut Sufi tua,”Ansor asli itu yang tergabungan sebagai Badan Otonom (Banom) NU. Ansor itu punya satuan khusus yang dilatih kemiliteran dasar dalam bentuk Diklatsar (Pendidikan dan Latihan dasar) yang akan diteruskan Diklanjut (Pendidikan dan Latihan Lanjutan). Mereka yang sudah mengikuti Diklatsar, akan masuk ke dalam satuan paramiliter yang disebut BANSER –  Barisan Ansor Serbaguna. Dan secara legal-formal, para pelatih Diklatsar maupun Diklanjut bagi anggota Ansor yang menjadi Banser itu adalah TNI dan POLRI. Dalam Diklatsar dan Diklanjut itu para Banser dilatih tidak hanya baris-berbaris, lintas medan, tali-temali seperti  rapling dan snapling, dasar-dasar intelijen, bela diri militer, bongkar pasang senjata, jurit malam, melainkan diajarkan pula tentang Ke-Indonesia-an, Pancasila, UUD 1945, Bela Negara, Ke-NU-an, dan kecintaan kepada tanah air. Mereka – para banser – memposisikan diri sebagai kader bangsa sekaligus Benteng Ulama.”

“Oo begitu tah?” Sukiran mengangguk-angguk berusaha memahami,”Lha kalau Ansor yang gadungan?”

“Ansor gadungan  itu  mengikuti latihan dasar-dasar kemiliteran dengan pelatih para teroris seperti Dulmatin, Umar Patek,  Nordin M. Top,  Ashari, dan teroris lain. Mereka itu ingin mengubah NKRI sebagai negara agama Islam, bahkan menjadi kerajaan seperti Saudi Arabiyyah yang dikembangkan menjadi  khilafah dunia dengan khalifah Maharaja Arab,” kata Sufi tua.

“Oo karena itu mereka menolak upacara dan menghormat bendera merah putih.”

“Ya mereka baru mau menghormat kalau yang dikibarkan bendera Arab yang ada tulisan Laailahailallah Muhammad al-Rasulullah,” sahut Sufi tua.

“Ya itu,” sahut Sufi Sudrun tiba-tiba  menyela,”Orang-orang  Arab badui ramai-ramai lewat sekolah-sekolah Wahafi-Salabi Al-Irsyadiyyah Al-Badui mendidik anak-anak bangsa agar menjadi warganegara Kerajaan Saudi Indunisiya dengan cara menolak NKRI,  Merah Putih, Lagu Indonesia Raya, Pancasila, UUD 1945, dan berbagai undang-undang serta peraturan yang mereka anggap  kafir dan sesat. Badui-badui itu menjanjikan surga kepada orang-orang yang mengikuti mereka.”

“Wah bisa berbahaya itu,” sahut Sukiran dengan  khawatir,”Bisa jadi separatis itu. Bisa jadi gerakan  makar itu.”

“Yang pasti mereka itu akan semakin berani dengan terang-terangan menolak negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, ketika dibiarkan saja oleh rezim Neolibs yang menganut konsep open society  dan mengharamkan aturan  negara mencampuri urusan warganegara dalam hal apa pun termasuk  menindak  warga yang menolak simbol-simbol negara,” sahut Sufi Sudrun.

“Justru itu, kelihatannya sekarang ini Ansor asli  mulai “bergerak” dengan mengintensifkan Diklatsar dan Diklanjut untuk menghadapi ancaman radikalisme badui yang dinilai sudah membahayakan negara,” kata Sufi tua berkomentar.

“Oo iya kang,” sahut Sufi Sudrun,”Aku dapat info anak-anak Ansor Blitar mulai Jum’at besok akan mengadakan Diklatsar Banser yang diikuti 1800 orang. Wah itu sudah setara dengan tiga batalyon, ya.”

“Benar, malah aku dengar petinggi Ansor  juga  akan hadir,” sahut Sufi tua.

“Berarti di Blitar akan ada kader Banser yang terlatih sejumlah 1800 orang ya pakde?” tanya Sukiran berkomentar.

“Salah kamu,” sahut Sufi tua meluruskan,”Jumlah 1800 orang itu hanya jumlah peserta Diklatsar tahun 2011. Itu belum masuk hitungan jumlah peserta Diklatsar tahun 2010, 2009, 2008, 2007 dan seterusnya yang menurut perkiraan sekitar 8000 orang. Biasanya, dalam keadaan biasa peserta Diklatsar sekitar 200 – 350 orang. Tapi tahun 2011 ini, melonjak jadi 1800 orang. ”

“Wah wah, ini harus dapat perhatian serius,” tukas Guru Sufi yang sejak  tadi hanya berdiam diri,”Pemerintah tidak boleh  melakukan pembiaran jika mengetahui akan pecah konflik horizontal di antara warganegaranya. Sebab kalau sampai pecah konflik berdarah, dalam bentuk bentrok antara  Ansor asli tulen yang bertarung melawan Ansor gadungan seperti bentrok tahun  1965-1966 sewaktu Ansor asli tulen melawan PKI, sangat potensial terjadi anarkisme yang tidak mustahil akan melanda elemen masyarakat lain.”

“Itu benar, Mbah Kyai,” sahut Sukiran,”Soalnya, saya dengar teman-teman Ansor asli tulen sangat marah dengan kasus bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon dan pembunuhan polisi di Bima oleh santri gadungan. Saya tidak tahu, kenapa anak-anak Ansor asli punya semacam solidaritas terhadap polisi.”

“He dengar le,” sahut Sufi tua dengan suara tinggi,”Asal kamu tahu, bahwa sejak 1964  sampai sekarang ini, salah satu aparat negara yang mendidik dan melatih Banser dalam Diklatsar dan Diklanjut itu adalah Brimob. Jadi sebagai kalangan santri, mereka menganggap polisi itu sama dengan guru  yang telah  berjasa memberi ilmu kepada mereka. Jadi kalau mereka marah sewaktu mengetahui ada polisi dibunuh, itu wajar dan manusiawi.”

“Oo begitu ya pakde.”

“Yang aku khawatirkan, justru kalau kader-kader Banser sengaja dibiarkan untuk “bergerak” sendiri dalam rangka penyelamatan negara menurut pikiran anak-anak muda yang terlatih dan pengennya berkelahi melulu,” sahut Guru Sufi.

“Jadi bagaimana ini, Mbah Kyai?” tanya Sukiran.

“Ya ulama harus turun ke bawah untuk mengawasi dan mencegah agar anak-anak muda yang terlatih kemiliteran itu tidak dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu yang bisa merugikan kaum santri, terutama mencegah hal-hal yang potensial memicu  konflik berdarah,” sahut Guru Sufi.

Leave a comment